PENGINTEGRITASIAN PENDIDIKAN ANTI TERORISME DALAM KURIKULUM SEKOLAH
PENGINTEGRITASIAN PENDIDIKAN ANTI TERORISME DALAM KURIKULUM SEKOLAH
ARTIKEL JURNAL
Untuk memenuhi Tugas Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru
Universitas Narotama Surabaya Tahun 2023
Naradamping : 1. Ezza Wahyu Indrianto
2. Intan Herida
Disusun Oleh :
PENGGAWA (03) BLACK EYE
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
2023
Jl. Arief Rachman Hakim No.51 Surabaya
Phone : 031-5946404- 5995578, fax. 031- 5931213
NAMA PENULIS
1. Ariyan Hendarto (03123002) / Teknik Sipil
2. Iwangga Panduady (03123008) / Teknik Sipil
3. Haniyah Anisah Putri (01223026) / Manajemen
4. Asriana Kartini (01123023) / Akuntansi
5. Ismail Marzuki (01123008) / Akuntansi
6. Dimas Tri Prastiyo (02123025) / Ilmu Hukum
7. Jason Gunawan (02123003) / Ilmu Hukum
8. Kristian Yosep Fernando (02123022) / Ilmu Hukum
9. Alfino Farel Patrick Halili (01223048) / Manajemen
10. Devina Niqitha Nanda (01223042) / Manajemen
11. Helen Septianasari (01223033) / Manajemen
12. Moch. Qudhori Seftiawan (01223002) / Manajemen
13. Mohammad Rifqi Adya Putra (01223016) / Manajemen
14. Arilliya Darmi Aini R. (05123010) / PG Paud
15. Mutiara Renata Putri (05123008) / PG Paud
16. Moch. Kusuma Abidin (04223009) / Sistem Informasi
17. Rahmad Muafi (04123004) / Sistem Komputer
18. Farahtania Oktafianzah H. (04323002) / Teknik Informatika
19. Farras Nur Majidah (04323006) / Teknik Informatika
20. Fatimatuz Zahro (04323019) / Teknik Informatika
1.1 Genealogi Terorisme
Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal, antara lain :
1. Intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain).
2. Fanatik (selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah).
3. Eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya).
4. Revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan). (Terorisme, 2016)
Istilah lain yang berdekatan makna dengan terorisme adalah fundamentalisme. Istilah ini muncul pertama kali di kalangan agama Kristen, di Amerika Serikat. Istilah fundamentalisme sendiri baru ditemukan dalam berbagai kamus dan ensiklopedia pada masa akhir-akhir ini. Ia belum termuat dalam Kamus Besar Robert edisi 1966 dan Encyclopedia Universalis edisi 1968. Kamus Kecil Petite Larousse Encyclopedique memuatnya dalam edisinya tahun 1966 dengan pengertian yang sangat umum sekali, yaitu ”sikap orang-orang yang menolak penyesuaian kepercayaan dengan kondisi-kondisi modern” (Ratnasari, 1970).
Menurut faham kaum fakta sosial, terorisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Genealogi terorisme dapat ditilik dari beberapa penyebab antara lain, yaitu: pertama, tekanan politik penguasa terhadap keberadaanya. Kedua, kegagalan rezim sekular dalam merumuskan kebijakan dan mengimplementasikannya di dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, respon terhadap barat
Dalam dunia Islam, istilah terorisme muncul seirama dengan gerakan Islam di Iran yang ternyata dapat menghancurkan kekuatan Syah Iran yang didukung oleh Amerika Serikat. Dibawah komando para Imam Syi’ah, khususnya Ayatullah Khomeini, kaum Syiah yang anti terhadap rezim otoriter Syah Iran melakukan pemberontakan yang berakhir dengan kemenangan Kaum Syiah garis keras tersebut. Gerakan-gerakan para Mullah yang didukung oleh rakyat secara penuh inilah yang menghasilkan konseptual sebagai gerakan Islam fundamental atau radikal
Sejarah terorisme di Indonesia mulai dari era 1980-an. Indonesia memiliki akar sejarah yang jauh lebih dalam terkait kelompok fanatik Islam. Penyebab aksi terosisme di Indonesia antara lain, yaitu: pertama, aksi terorisme tersebut adalah konflik sosial politik sebagaimana terjadi di Aceh, konflik bermotif solidaritas agama dengan target sasarannya antara lain rumah ibadah dan prasarana sipil lainnya, konflik sosial lainnya berlabel agama di Ambon dan Poso serta beberapa tempat lainnya. Konflik ini merupakan motif separatisme serta motif benturan pentingan ekonomi politik elit lokal-nasional. Kedua, perang melawan terorisme, peristiwa 11 September 2001 adalah titik tolak menguatnya wacana dan terorisme di Indonesia. Ketiga, teori konspirasi adalah penolakan bahwa bukan kelompok Islam yang melakukan aksi terorisme. Keempat, jihad global gerakan Islam Transnasional, memicu bangkitnya aksi balasan yang dilakukan oleh gerakan Islam lintas bangsa transnasional dengan klaim jihad global.
Tragedi Bom Thamrin dan Bom Sarinah |
1.2 Pengintegritasian Pendidikan Anti Terorisme dalam Kurikulum Sekolah
Istilah integrasi berasal dari bahasa Inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Poerwadarminto mengartikan integrasi adalah penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh. Dalam ilmu sosial, integrasi dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Misalnya integrasi orang Cina ke dalam tubuh bangsa Indonesia tanpa kehilangan identitas dan tata kehidupannya yang serba eksklusif, dan mereka merupakan suku baru yang setingkat dengan suku Jawa, Sunda, dan sebagainya.
Pendidikan anti terorisme adalah pendidikan untuk menolak faham radikalisme. Istilah yang juga sering digunakan adalah Deradikalisme. Untuk mendesain integrasi Pendidikan Anti Terorisme dalam kurikulum, cukup relevan menyimak pendapat Syamsul Ma’arif yang menawarkan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Filosofi kurikulum yang dikembangkan mestilah menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat bangsa dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum.
Kedua, teori kurikulum tentang konten haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, dan keterampilan yang harus dimiliki generasi muda.
Ketiga, teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat individualistik dan menempatkan peserta didik dalam suatu kondisi free value, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar yang menempatkan peserta didik sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.
Keempat, proses belajar yang dikembangkan untuk peserta didik haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik belajar individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif. Dengan cara demikian maka perbedaan antar-individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik.
Kelima, evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan.
Kata kurikulum semula dipakai di dunia atletik yang berarti jarak tertentu yang harus ditempuh dalam waktu tertentu, kemudian dipakai di dunia pendidikan. Secara etimologi, kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir artinya pelari dan curere artinya tempat berpacu. Dalam bahasa Arab kata kurikulum biasa diungkapkan dengan istilah manhaj yang berarti jalan terang yang dilalui manusia pada berbagai kehidupan
Secara terminologi, kurikulum dapat didefinisikan ke dalam dua pengertian, dalam arti sempit dan dalam arti luas. Kurikulum dalam arti sempit merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar dan mengajar di sekolah. Pengertian dalam arti sempit ini meliputi empat komponen yang harus ada dalam kurikulum, yaitu tujuan, isi atau bahan, organisasi, dan strategi. Kurikulum dalam arti ini lebih relevan dipahami dan dilakukan oleh guru dan dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah/madrasah.
Sedangkan dalam arti luas, kurikulum dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu kegiatan/aktivitas yang dirancang oleh suatu lembaga pendidikan untuk disajikan kepada peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan, baik tujuan institusional, tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional.
Dengan demikian yang dimaksud dengan integrasi pendidikan anti terorisme dalam kurikulum sekolah adalah proses penyesuaian antara pendidikan anti terorisme dengan semua komponen yang ada di dalam kurikulum sehingga menghasilkan pola pendidikan yang memiliki keserasian fungsi.
Untuk mengimplementasikan integrasi perlu dilakukan proses penyusunan dan pengembangan kurikulum sekolah yang merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah. Kegiatan ini dapat dibentuk alam format rapat kerja atau loka karya sekolah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru. Tahap kegiatan penyusunan dan pengembangan kurikulum secara garis besar meliputi penyiapan dan penyusunan draf, review, finalisasi, pemantapan dan penilaian. Langkah yang lebih rinci dari masing-masing kegiatan diatur dan diselenggarakan oleh tim penyusun.
1.3 Strategi Pengintegritasian Pendidikan Anti Terorisme dalam Kurikulum Sekolah
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu interaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi ini maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud konkret yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati.
Berangkat dari teori tersebut di atas, integrasi pendidikan anti terorisme dalam proses pembelajaran merupakan bentuk stimulus yang berupa pembelajaran yang sudah didesain sedimikian rupa sehingga menghasilakan respon yang berupa sikap, perbuatan, atau pengetahuan yang dapat membentengi peserta didik dari pengaruh terorisme.
Strategi yang dilakukan adalah mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan anti terorisme dalam proses pembelajaran dalam kurikulum sekolah yang terdiri atas standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator keberhasilan pembelajaran; materi pembelajaran; metode pembelajaran, media dan atau sumber ajar; dan evaluasi pembelajaran.
Mengacu pada teori tersebut dan pendapat Syamsul Ma’arif (Sya’roni, 2019), strategi integrasi pendidikan anti terorisme dalam kurikulum sekolah dapat dilakukan dengan cara :
· Menerapkan teori kurikulum tentang konten haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, dan keterampilan yang harus dimiliki generasi muda. Dalam hal ini konten yang ada di dalam kurikulum harus menunjukkan fakta-fakta gerakan terorisme yang menjadi ancaman bangsa Indonesia. Apa yang harus melekat pada peserta didik sehingga mampu menjadi benteng pertahanan dari pengaruh virus terorisme.
· Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum mendatang yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dengan terbiasanya sistem belajar yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik, peserta didik secara tidak sadar telah mendapatkan interalisasi nilai-nilai kerukunan, keharmonisan, toleransi, demokrasi, dan jauh dari terorisme.
· Proses belajar yang dikembangkan untuk peserta didik haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses belajar yang mengandalkan peserta didik belajar individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif. Dengan cara demikian maka perbedaan antar-individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik.
· Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan.
Untuk merealisasikan pendidikan anti terorisme bagi peserta didik, sekolah dapat melaksanakannya dengan cara mengintergrasikan nilai-nilai pendidikan anti terorisme dalam seluruh kegiatan sekolah, terutama kegiatan pembelajaran PAI dan PPKN. Nilai-nilai pendidikan anti terorisme yang dapat diimplementasikan antara lain adalah nilai-nilai pendidikan anti terorisme kurikulum karakter di negara bagian Georgia berikut ini :
· Citizenship
Citizenship adalah kualitas pribadi seseorang terkait hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan warga bangsa. Misalnya hak dan kewajiban dalam memanfaatkan dan mengembangkan kemajuan IPTEK dengan prinsip kemaslahatan bangsa dan negara.
· Compassion
Compassion adalah peduli terhadap penderitaan atau kesedihan orang lain serta mampu menanggapi perasaan dan kebutuhan mereka.
· Courtesy
Courtesy adalah berperilaku santun dan berbudi bahasa halus sebagai perwujudan rasa hormatnya terhadap orang lain.
· Fairness
Fairness adalah perilaku adil, bebas dari favoritisme maupun fanatisme golongan.
· Moderation
Moderation adalah sikap menjauhi pandangan dan tindakan yang radikal dan ekstrem yang tidak rasional.
· Respect for other
Respect for other adalah sikap menghargai hak-hak dan kewajiban orang lain.
· Respect for the creator
Respect for the creator adalah sikap menghargai segala karunia yang diberikan oleh Tuhan Sang Maha Pencipta dan merasa berkewajiban untuk selalu menjalankan perintahNya dan menjauhi segala laranganNya serta senantiasa bersyukur kepadaNya.
· Self control
Self control adalah mampu mengendalikan diri melalui keterlibatan emosi dan tindakan seseorang.
· Tolerance
Tolerance adalah sikap dapat menerima penyimpangan dari hal yang dipercayai atau praktik-praktik yang berbeda dengan yang dilakukan atau dapat menerima hal-hal yang berseberangan dengan apa-apa yang telah menjadi kepercayaan diri.
1.4 Implementasi Pengintegritasian Pendidikan Anti Terorisme dalam Kurikulum Sekolah
Implementasi integrasi pendidikan anti terorisme dalam kurikulum sekolah dilaksanakan dalam 4 bentuk kegiatan, yakni kurikuler, ekstrakurikuler, pembiasaan, dan pengembangan diri.
· Kegiatan Kurikuler
Kegiatan kurikuler adalah kegiatan pembelajaran mata pelajaran sesuai dengan ketentuan kurikulum standar nasional. Dalam setiap proses pembelajaran setidaknya terdapat empat komponen utama, yaitu; tujuan pembelajaran, materi pembelajaran (bahan ajar), metode pembelajaran, dan media pembelajaran. Integrasi pendidikan anti terorisme dalam kegiatan kurikuler ini dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikannya ke dalam tujuan pembelajaran materi pembelajaran (bahan ajar), metode pembelajaran, dan media pembelajaran.
Dalam merumuskan tujuan pembelajaran guru PAI hendaknya memasukkan nilai-nilai pendidikan anti terorisme yang relevan dengan tujuan pembelajaran yang sudah digariskan oleh kurikulum. Demikian pula dalam membuat bahan ajar, menentukan metode, dan media pembelajaran.
· Kegiatan Ektra Kurikuler dan Pengembangan Diri
Integrasi pendidikan anti terorisme dalam kegiatan ekstrakurikuler dan pengembangan diri sekolah dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan anti terorisme yang relevan dalam kegiatan ekstra kurikuler yang diselenggrakan sekolah. Misalnya kegiatan kajian Islam, dalam mengkaji ajaran Islam, guru dapat memberi penekanan pada pembahasan yang ada sangkut pautnya anti terorisme.
· Kegiatan Pembiasaan
Untuk mengintegrasikan nilai-nili pendidikan anti terorisme dalam kegiatan pembiasaan sekolah dapat melakukannya dengan cara sebagai berikut :
No. | Pendidikan Anti Terorisme | Bentuk Kegiatan |
1 | Citizenship | Upacara bendera dan hari-hari besar nasional atau agama. |
2 | Compassion | Setiap kali ada siswa yang tertimpa musibah, siswa-siswa yang lain diajak untuk memberi sumbangan. |
3 | Courtesy | Mewajibkan siswa bertutur kata santun yang santun, misalnya pada hari-hari tertentu siswa diwajibkan berbahasa jawa krama inggil sesuai daerah masing-masing. |
4 | Fairness | Selalu menegakkan perilaku adil, bebas dari favoritisme maupun fanatisme golongan dalam menyelesaikan persoalan di sekolah. |
5 | Moderation | Siswa selalu dilibatkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan bersama. |
6 | Respect for other | Sekolah menegakkan tata tertib dan norma-norma di sekolah. |
7 | Self Control | Siswa dilatih mampu mengendalikan diri melalui keterlibatan emosi dan tindakan seseorang. |
8 | Respect for the creator | Siswa diajak membiasakan diri menjalani perintah dan menjauhi larangan Tuhan Sang Maha Pencipta. Misalnya mengadakan sholat jamah dhuhur, baca Al-Qur’an dan lain-lain sesuai agama masing-masing. |
9 | Tolerance | Sekolah memberi stimulus kepada siswa agar memiliki sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan. Misalnya membentuk kelompok belajar dari siswa yang beragam latar belakangnya. |
Salah satu bentuk implementasi kurikulum sekolah untuk mengindari paham radikalisme |
2.1 Pendapat Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu bertujuan untuk mendapatkan bahan perbandingan dan acuan. Selain itu, untuk menghindari anggapan kesamaan dengan penelitian ini. Maka dalam kajian pustaka ini peneliti mencamtumkan hasil-hasil pendapat penelitian terdahulu sebagai berikut :
· Hasil Pendapat Penelitian Eggi Sudjana mengutip dari
Kaum reaksioner menginginkan perubahan tatanan masyarakat dalam batas-batas tertentu dan masih mentolerir sebagian tatanan yang ada, sedangkan kaum radikalis justru menginginkan perubahan tatanan yang ada ke akar-akarnya bahkan jika perlu dilakukan dengan kekerasan.
· Hasil Pendapat Penelitian
Al-Qur’an yang terbuka untuk selalu di tafsirkan terkadang menjadi sebuah problem bagi sebagian orang dimana Al-Qur’an dijadikan alat untuk mendorong gerakan yang radikal dengan mengambil beberapa ayat yang menurutnya sesuai dengan tujuan gerakannya, seperti tindakan menyalahkan, menghakimi, menjustice dan menuduh kepada orang yang berada diluar barisan dan akidah mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemahaman teks yang tidak komprehensif, keilmuan yang tidak memadai, dan ambisius dengan tidak memperhatikan aspek teks dan konteks yang mengakibatkan sangat berdampak terhadap pergerakan kehidupan. Atas dasar itu kemudian banyak terjadinya tindakan radikal yang mengatasanamakan agama dan tindakan tersebut menurut mereka adalah tindakan yang sah dan legal.
· Hasil Pendapat Penelitian
Perkembangan keagamaan peserta didik dapat diarahkan dengan baik jika mereka bergabung dengan kelompok keagamaan yang membangun iklim beragama secara sehat. Kemudian di sisi yang lain perkembangan keagamaan peserta didik bisa menjadi buruk jika mereka bergabung dengan kelompok radikal dan hal itu dapat membahayakannya.
· Hasil Pendapat Penelitian
Dengan upaya mendialogkan atau mengintegrasikan atau menegosiasikan setidaknya akan saling memberikan penjelasan atau jalan keluar dan menutupi atas kelemahan di tiap-tiap bidang. Namun tentunya perbincangan ini belum tuntas sebagaimana sifat ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Demikian pula relasi sains, budaya, dan agama terus mencari pola yang sangat mapan, meski saat ini telah ada tawaran yang membahagiakan dalam membentuk relasi tersebut; yakni dialogis-integrasi.
· Hasil Pendapat Penelitian
Fenomena yang masuk dalam klasifikasi tindakan terorisme, sudah ada di Indonesia jauh sebelum pemerintah Indonesia memiliki instrumen kontra terorisme. Beberapa peristiwa seperti Pemberontakan PKI Madiun (1948), Pemberontakan yang dilakukan oleh DII/TII di Jawa Barat tahun 1949, Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA tahun 1950, Republik Maluku Selatan (1950), Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan (1952), Pemberontakan DI/ TII Aceh (1953), Organisasi Papua Merdeka (1960- an), PRRI/PERMESTA (1958), Pemberontakan PKI (1965), pemberontakan Fretelin’s Timor-Timur (1975) merupakan peristiwa-peristiwa yang dapat dikategorikan ke dalam tindakan terorisme.
Pada waktu itu pemerintah Indonesia mempersespsikan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai perstiwa pemberontakan dan ditangani secara mandiri. Karena waktu itu segala bentuk pemberontakan yang terjadi dianggap sebagai ancaman nasional dan menjadi urusan dalam negeri. Namun setelah tahun 2000-an, tepatnya pasca terjadinya peristiwa serangan di gedung WTC di Amerika Serikat, isu terorisme menjadi isu yang kuat dalam pergaulan di dunia internasional. Dapat disimpulkan bahwa ide (persepsi) pemerintah Indonesia yang terbentuk dari konstruksi sosial (pergaulan internasional) menjadi pengaruh yang cukup besar ditunjukkan dengan adanya perubahan cara atau strategi untuk menghadapi peristiwa yang cenderung memiliki tipe yang sama baik pada masa sebelum tahun 2000-an dan setelah tahun 2000-an.
3.1 Simpulan
Integrasi pendidikan anti terorisme dalam kurikulum sekolah adalah proses penyesuaian antara pendidikan anti terorisme dengan semua komponen yang ada di dalam kurikulum sehingga menghasilkan pola pendidikan yang memiliki keserasian fungsi.
Strategi integrasi pendidikan anti terorisme dalam kurikulum sekolah dapat dilakukan dengan cara :
a) Merubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan.
b) Menerapkan teori kurikulum yang tidak hanya mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, dan melainkan mencakup pula nilai, moral, prosedur, dan keterampilan yang harus dimiliki. Dalam hal ini konten yang ada di dalam kurikulum harus menunjukkan fakta-fakta gerakan terorisme yang menjadi ancaman bangsa Indonesia.
c) Teori belajar yang digunakan memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
d) Proses belajar yang dikembangkan harus berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial.
e) Evaluasi yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik.
Implementasi integrasi pendidikan anti terorisme dalam kurikulum sekolah dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan anti terorisme serperti Citizenship, Compassion, Courtesy, Fairness, Moderation Respect for other, Respect for the creator, Self control, dan Tolerance.
3.2 Saran
Hendaknya pada penelitian selanjutnya dapat memperdalam kembali mengenai faktor-faktor apa saja yang membuat kurikulum sekolah sulit untuk menerapkan kurikulum yang mengandung unsur anti terorisme.
Hendaknya para peneliti selanjutnya lebih mengembangkan ruang lingkup penelitian, mengingat penelitian yang dilaksanakan ini belum sepenuhnya bisa menggambarkan secara universal.
3.3 Daftar Pustaka
Hidayat, H., Al-Qur’an, S., & Hadis, D. (2021). Hamdan Hidayat, Radikalisme Agama Perspektif Al-Qur’an 1 RADIKALISME AGAMA PERSPEKTIF AL-QUR’AN. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Status_quo
Jayana, T. A. (2018). Relasi Sains, Budaya, Dan Agama Upaya Pendekatan Paradigma Yang Menyatukan. Jurnal Pendekatan Sosial, 11(1), 153.
Kusuma, A. J., Warsito, T., Surwandono, S., & Muhammad, A. (2019). Indonesia dan Ancaman Terorisme: Dalam Analisis Dimensi Imaterial. Sosiohumaniora, 21(3). https://doi.org/10.24198/sosiohumaniora.v21i3.21142
Mubarak, Z. (2018). FUNDAMENTALISME ISLAM: Kajian Fenomena Sosio-Religius. ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam, 4(2), 89–111. https://doi.org/10.18860/ua.v4i2.6128
Qodir, Z. (2018). Kaum Muda, Intoleransi, dan Radikalisme Agama. Jurnal Studi Pemuda, 5(1), 429. https://doi.org/10.22146/studipemudaugm.37127
Ratnasari, D. (1970). Fundamentalisme Islam. Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 4(1), 40–57. https://doi.org/10.24090/komunika.v4i1.137
Sya’roni, M. (2019). Strategi Integrasi Pendidikan Anti Radikalisme Dalam Kurikulum Sma/Ma. Karangan: Jurnal Bidang Kependidikan, Pembelajaran, dan Pengembangan, 1(01), 37–45. https://doi.org/10.55273/karangan.v1i01.6
Terorisme, B. N. P. (2016). Strategi Menghadapi Paham Radikalisme Terorisme–ISIS. Jakarta: Belmawa.
Wiyani, N. A. (1970). Pendidikan agama Islam berbasis anti terorisme di SMA. Jurnal Pendidikan Islam, 2(1), 65. https://doi.org/10.14421/jpi.2013.21.65-83
Yasinta, Y., & Fernandes, R. (2020). Dampak Penggunaan Jejaring Sosial Geschool Terhadap Minat Belajar. Jurnal Sikola: Jurnal Kajian Pendidikan dan Pembelajaran, 1(3), 168–174. https://doi.org/10.24036/sikola.v1i3.26
Yusuf, M. (2019). Desain Pengembangan Kurikulum Bahasa Arab: Pendekatan Otak Kanan. El-Tsaqafah: Jurnal Jurusan PBA, 18(2), 147–160.
file pdf jurnal "Pengintegritasian Pendidikan Anti Terorisme dalam Kurikulum Sekolah" bisa di unduh disini
Komentar
Posting Komentar